Thursday, August 30, 2007

Wisdom of the Day

Before you lead, you have to learn how to follow.
Anonymus


A leader leads by example, not by force.
Tsun Zu, The Art of War



...

Thursday, August 23, 2007

Tangga dan Lift

Tangga dan Lift memiliki fungsi yang sama. Sebagai connector antara lantai bawah ke lantai atasnya pada sebuah gedung. Dengan lift, kita tidak usah cape-cape, tinggal masuk, tekan tombol untuk menuju lantai berapapun yang kita inginkan, tunggu barang 1 - 5 menit (tergantung tingginya gedung)....wuzzz sampailah kita. Lain halnya dengan tangga. Kita sepenuhnya menggunakan tenaga dan kemampuan kita sendiri untuk menuju lantai yang kita inginkan. Karena itulah, pada masa sekarang tangga umumnya digunakan untuk ketinggian gedung maksimal 4 lantai. Lebih dari itu? Fiuhhh... bisa-bisa betis bengkak-bengkak.

Kita dibikin nyaman oleh lift. Nyaris tak ada tenaga yang kita keluarkan. Sudah ada motor penggerak yang digerakkan oleh energi listrik. Jadi tenaga kita diganti dengan energi listrik. Di sini, kita tergantung pada motor penggerak yang mengangkat lift dan energi listrik yang menggerakkan motor. Satu-satunya tenaga yang kita keluarkan mungkin hanya untuk menekan tombol saja. Selebihnya, kita pasif dan "pasrah" saja, dibawa oleh lift, naik ataupun turun.

Sebaliknya, tangga menuntut kita untuk aktif sepenuhnya. Tenaga yang kita keluarkan sebanding dengan pencapaian kita. Naik dari lantai 1 ke lantai 3 tentu saja butuh energi 2x lipat dibandingkan dengan naik dari lantai 1 ke lantai 2. Kita diharuskan aktif. Seberapa tinggi kita ingin naik, atau seberapa cepat kita ingin sampe ke lantai yang kita tuju tidak tergantung pada siapa-siapa. Kita sendiri yang menentukan.

Kehidupan ini mirip dengan tangga dan lift. Seringkali kita mengandalkan faktor eksternal untuk meraih tujuan kita. Sama seperti lift, faktor eksternal berada di luar kontrol kita. Jika lift bisa tiba-tiba macet karena rusak atau mati listrik, faktor eksternal pun bisa "macet" tanpa kita bisa mencegahnya. Nepotisme dalam karir maupun bisnis adalah "lift" kita. Dengannya, kita bisa "naik" ke posisi yang lebih tinggi dengan lebih cepat. Tapi, siapa yang bisa mencegah jika "lift" itu ternyata tiba-tiba macet, orang yang kita jadikan "gantungan" tiba-tiba pindah jabatan atau dipecat misalnya?

Jika kita menapaki tangga kehidupan kita sendiri, semuanya berada dalam kontrol kita. Kita tinggal melangkah saja. Tidak perlu melihat keseluruhan anak tangga. Cukup melangkah ke anak tangga yang di depan kita saja. Toh nantinya akan sampai juga. Mau cepat atau lambat atau seberapa tinggi kita ingin meraih tujuan kita, kita sendiri yang menentukan. Jika ingin lebih cepat atau lebih tinggi, tentunya "energi" yang kita keluarkan harus lebih besar. Energi di sini adalah skill kita, sikap dan mental kita. Senantiasa belajar adalah cara untuk meningkatkan energi ini.

Bukankah jauh lebih membahagiakan, mencapai tujuan kita dengan upaya kita sendiri? Kita sendiri yang menentukan nasib kita, bukan orang lain. Dan kitapun tidak perlu kuatir akan mati listrik. Karena kaki kita sudah terbiasa menapaki tangga-tangga kehidupan kita sendiri.

Friday, August 17, 2007

Memberi : Kebahagiaan yang Tertinggi

Saya tergelitik untuk memposting tulisan ini karena pengalaman saya ketika mau sholat jumat tadi siang. Lokasi mesjidnya cukup jauh dari tempat tinggal saya. Hampir 1 km dan saya hanya jalan kaki saja. Baru sekitar 100-an meter saya berjalan, tiba-tiba ada sepeda motor berhenti di samping saya, arahnya dari belakang. Yang mengendarai anak muda, mungkin masih SMU. "Mau ke masjid Om?" tanyanya sambil menawarkan boncengan. Tanpa ragu, sayapun langsung naik ke motornya dan bersama-sama kami menuju masjid untuk sholat jumat.

Saya sangat terkesan dengan anak ini. Baginya, saya adalah orang asing. Tapi tanpa ragu-ragu ia mau saja menawarkan tumpangan. Saya berpikir dalam hati, ini adalah salah satu bentuk shodaqoh yang paling tinggi tingkatannya. Ah, mungkin Tuhan sedang mengingatkan saya melalui anak ini karena saya sudah cukup lama tidak melakukan shodaqoh.

Pak Purdi dalam salah satu mentoring Entrepreneur University pernah mengatakan bahwa memberi/shodaqoh adalah latihan paling mendasar untuk menjadi pengusaha. Penjelasannya begini, dalam setiap bisnis, pasti didahului dengan suatu investasi. Nah, buat pemula yang baru mau belajar bisnis biasanya takut untuk berinvestasi. Wajar, karenan mindset-nya selama ini adalah "menerima" gaji, bukan "mengeluarkan" investasi. Padahal, ini hanya masalah urutan saja. Pengusaha memang mengeluarkan terlebih dahulu (investasi), tapi nantinya diharapkan akan ada imbal hasil atas investasinya tadi. Jadi, menerimanya belakangan. Bukankah ada resiko atas investasi tersebut? Betul, justru pelajaran yang paling penting di sini adalah, bagaimana mengelola resiko tersebut agar masih bisa di bawah kontrol kita. Makanya, Pak Purdi menyarankan, latihan untuk investasi dimulai dengan membiasakan diri untuk shodaqoh. Logikanya begini, kalo kita sudah tidak merasa sayang dengan uang yang dikeluarkan untuk shodaqoh yang sudah pasti "hilang" (sebenarnya tidak hilang, karena Tuhan sudah berjanji untuk menggantinya), maka untuk mengeluarkan uang untuk diinvestasikan mestinya bisa lebih santai lagi, karena toh investasi itu nantinya akan menghasilkan di kemudian hari.

Bagi saya, bisa bershodaqoh adalah kebahagiaan tertinggi yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada saya. Contoh yang paling simple, dulu ketika masih kecil saat-saat yang paling membahagiakan kita adalah saat hari raya lebaran. Waktu itu saudara-saudara yang lebih tua, Kakek, Nenek, Pak Dhe, Om, Tante akan membagikan uang kepada kita. Sekarang, giliran saya yang membagikan uang ke keponakan-keponakan dan sepupu-sepupu saya yang masih kecil. Dan saya merasa jauh lebih bahagia ketika bisa memberi uang daripada ketika diberi uang seperti saat masih kecil dulu.

Bentuk shodaqoh bisa bermacam-macam. Salah satu mentor EU bercerita, dia bershodaqoh dengan cara menyumbangkan fasilitas wudhu di beberapa langgar dan masjid. Simple, tapi maknanya dalam sekali. Katanya, itu bisa diibaratkan dengan royalti/passive income. Dia cukup "investasi" shodaqoh sekali saja dengan membangun tempat wudhu, tapi "income" pahalanya kan mengalir terus ke "rekening" amalnya selama masih ada orang yang berwudhu di situ. Ha..ha..ha... dasar pengusaha, menganalogikan shodaqoh kok diibaratkan dengan bisnis. Tapi memang masuk akal juga sih. Hmm... mudah-mudahan suatu saat saya bisa "investasi" amal seperti dia. Tidak hanya tempat wudhunya, kalo bisa tempat sholatnya alias masjidnya sekalian.

Di sebuah vihara yang sering saya lewati, ada tulisan besar yang bagus sekali tentang memberi. Bunyinya "Janganlah Engkau Memberikan Sesuatu Kepada Orang Lain yang Engkau Sendiri Tidak Mau Menerimanya". Maknanya dalam sekali bukan?

Sunday, August 12, 2007

Mijan Syahrani : 1 Milyar Dalam 6 Bulan!

Orangnya sederhana dan cenderung pendiam. Tapi siapa sangka, justru dibalik kesederhanaannya itu tersimpan semangat yang sangat besar. Saya pun sempat terkecoh dengan penampilannya itu. Mungkin bukan hanya saya yang terkecoh. Siapa saja yang baru pertama kali bertemu dengannya, pasti tidak akan pernah menyangka kalau ia baru saja melakukan transaksi luar biasa dahsyat. Don't judge the book by it's cover. Nasihat itu sudah saya hapal di luar kepala. Tapi ternyata masih belum juga saya 'amalkan', he..he..he..

Mijan Syahrani adalah murid Enterpreneur University Samarinda angkatan 3. Mungkin dia adalah The Living Legend di komunitas EU Samarinda, setelah Candra. Atau, bisa saja dia adalah the next James dalam komunitas TDA. Yup, Mijan adalah investor properti baru, yang dengan transaksi pertamanya sudah menghasilkan uang cash 1 Milyar rupiah, hanya dalam waktu 6 bulan!

Semuanya berawal dari The Power of Dream. Di kelas EU memang ada salah satu mentor yang mengajarkan hal ini. Intinya sama dengan yang diajarkan dalam The Secret atau Quantum Ikhlas. Mijan sudah membuktikan bahwa The Attractor Factor bisa terjadi pada siapa saja.

Jadi, ketika sudah mengetahui kekuatan dari mimpi, Mijan menuliskan "Saya harus punya rumah 1 tahun dari sekarang". Menuliskannya pun di balik kalender bekas. Setelah itu, diapun berkeliling mencari properti. Singkat cerita, didapatkanlah sebuah rumah yang dirasa cocok dengannya. Si pemilik menawarkan 300 juta rupiah. Karena tidak punya uang cash sama sekali, Mijan memanfaatkan Bank. Diajukanlah proposal pembiayaan ke salah satu Bank swasta. Ternyata, setelah di-apraise Bank menghargai properti itu senilai 700 juta rupiah! Setelah dipotong biaya provisi, notaris dsb, Mijan pun masih memiliki sisa 300 juta lebih. Uang itu digunakan untuk mengangsur cicilan yang nilainya mencapai 17 juta-an per bulan. Oya, Mijan mendapatkan rumah pertamanya dalam waktu 3 bulan lebih sedikit dari waktu ia menulis mimpinya.

Cerita belum selesai. Kurang lebih 3 bulan sejak Mijan memiliki properti itu, datanglah seseorang menawar rumah tersebut dengan nilai yang fantastis, 1.3 Milyar Rupiah! Meskipun awalnya ragu karena merasa sayang melepaskan rumah pertamanya (yang belum sempat ditinggali), rumah itu akhirnya dilepas juga. Dengan dana segar itu, Mijan melunasi hutangnya yang 700 juta. Jadi, hanya dalam waktu 6 bulan, Mijan sudah menghasilkan uang +/- 1 Milyar! Pertama, dari cashback pinjaman bank, Mijan menghasilkan +/- 400 juta. Kemudian, dari margin penjualan rumah ia menghasilkan +/- 600 juta.

Dengan dana 1 Milyar itu, 500 juta digunakan sebagai uang muka untuk 13 properti yang baru, dan semuanya disewakan. Sisanya yang 500 juta? Ditabung sebagai cadangan, katanya. Saya ingat, Pak James juga pernah berkata kalau ia mempunyai dana segar (kalau tidak salah) sekitar 800 juta di tabungannya. "Buat nakut-nakutin bank, katanya", ha..ha..ha...

Sungguh, siapapun nggak akan nyangka bahwa seorang Mijan yang sederhana dan pendiam ini ternyata adalah seorang milyader. Bahkan, saya lihat HPnya pun masih yang harganya 400 ribuan. Ia memiliki kecerdasan finansial tingkat tinggi. Bayangkan saja, menghasilkan 1 Milyar dari 0 rupiah hanya dalam 6 bulan, dan tidak meninggalkan utang! Dan ingat, ini adalah transaksi pertamanya. Hmm, ternyata memang benar kata Pak Roni dalam salah satu artikelnya, atau kata Tung Desem W, atau kata Brad Sugar, atau kata Robert G Allen, bahwa properti adalah one of the way to creating wealth. Jadi tambah semangat sama properti nih. Mudah-mudahan rekornya Mijan, Pak James dan Candra bisa saya pecahkan!



Dari kiri ke kanan, Juni (partner bisnis saya), Mijan dan Saya dalam salah satu mentoring session EU Samarinda.

Sunday, August 05, 2007

Jadi, apa profil saya?

Setelah tahu bahwa secara natural ada 8 profil untuk menjadi pengusaha, saya malah jadi bingung sendiri... profil saya termasuk type yang mana ya?

Kalo dingat-ingat lagi, rasa-rasanya profil yang paling cocok dengan sifat alami saya adalah type creator. Saya memang cenderung kreatif, banyak ide-ide tapi sulit untuk mengimplementasikan ide-ide tersebut. Kadang-kadang ide-ide saya itu meloncat terlalu jauh ke depan. Orang lain belum kepikiran, saya sudah memikirkannya dulu. Tapi ya itu, karena saya hanya kuat di sisi kreatif tapi lemah dalam pelaksanaan teknisnya, kadang-kadang orang lain menilai saya N.A.T.O (omong doang), he..he..he..

Hmm... alih-alih menguatkan sisi lemah saya, lebih baik saya fokus untuk terus menguatkan apa yang sudah jadi bakat alami saya, yaitu creator. Untuk menutupi kelemahan saya, saya harus berkolaborasi dengan orang-orang type supporter dan mechanic. Bersinergi, di situlah kuncinya.

Memang, saya sangat lemah dalam hal-hal yang sifatnya rutin dan administratif. Dengan mengetahui profil alami saya, mestinya saya bisa fokus dengan apa yang menjadi porsi saya. Untuk hal-hal yang lainnya, saya harus menemukan tim yang tepat agar bisa terjadi Quantum Leaps dalam setiap usaha saya.